Mengenang Kembali MDQH NW: Garda Terdepan Pengawal Visi-Misi Organisasi NW dan Penyangga NKRI

MDQH NW

PERAN ALUMNI MA’HAD DARUL QUR’AN WAL HADIST SEBAGAI BENTENG PENEGAK AGAMA DAN PENYANGGA NKRI.

Alumni MDQH NW Laksana Ikhwanusshofa (Nahnu Ikhwanusshofa Kuluna alal wafa) sosok pejuang pantang menyerah yang selalu siap siaga dalam situasi apapun. Nah itulah Alumni MDQH NW yang diharapkan oleh Maulanassyaikh TGKH.M. Zainuddin Abdul Madjid. Visi mulia MDQH NW didirikan oleh Maulanassyyaikh bisa dilihat dan dianalisa dari shawalat Ishlahul ummah yang disebarluaskan menjadi ciri khas NW oleh Maulanassyaikh.

Himmah NW harus maju ke depan untuk menjadi
Pertama: Mushlih : Reformer, pembaharu, pelurus ummat menuju kebaikan dunia dan akhirat (Allahumma ashlih ummata muhammadin sallalahu alaihi wasallam).

Kedua: Alumni MDQH NW mampu menjadi Mufarrij: Problem solver/pemecah masalah, pengayom keberhasilan, penegak kesuksesan ummat. Inilah yang maulanassyaikh maksudkan dengan wafarrij an ummati muhammadin saw.

Ketiga: alumni MDQH NW harus tampil sebagai Murhim, penyejuk ummat di mana pun berada.

Keempat: Alumni MDQH NW harus mengambil bagian menjadi Munsyir: penyebar panji-panji organisasi.

Kelima: almuni MDQH NW harus menjadi Muhfizh: Pemelihara organisasi dan agama dengan segala perangkat organisasi. Keenam: Muayyid pendukung dan pelopor terdepan dalam mendukung perjuangan NW. Inilah hal yang penting untuk mengawal perjuangan alumni MDQH NW menjadi Anjum Nahdhatil Wathan yang setia dan berjiwa murni.

Ma’had Darul Qur’an wal Hadis merupakan inspirasi dan motivasi Alumni MDQH NW guna harus tampil sebagai sosok ilmuan religius dalam masyarakat, yang sedikit tidak telah mendapatkan kepercayaan oleh masyarakat dan diakui sebagai pemimpin ummat ”kecil-kecilan” sesuai maqomnya, tentu dalam skala yang bersifat non-formal bahkan formal sekaligus dan tidak menutup kemungkinan alumni MDQH NW memiliki kewibawaan yang kerapkali melebihi pemimpin-pemimpin formal, Mutakharrijin-mutakharrijat (Alumni) NW bisa saja disegani, dipatuhi, dan juga dicintai oleh seluruh elemen masyarakat dalam stratum sosial yang sangat meragam pun.

Ma’had DQH adalah sebagai media dan sarana pembentuk kepemimpinan Para Mutakharrijin MDQH NW sebagai tokoh muda dalam kehidupan masyarakatnya dapat ditilik dari beberapa hal penting: Pertama, aspek intelektual, yang melatarbelakangi kepribadian Mutakhharrijin-Mutakharrijat MDQH NW.

Aspek ini meliputi kriteria kema’hadan mereka, yang harus berupaya penguasaan ilmu-ilmu agama Islam, pengakuan masyarakat, karakteristik pribadi tercermin dalam moralitas yang dianutnya dan hubungan genealogis di mana tradisi kema’hadan NW dalam posisi ini masih terasa kuat. Kedua, aspek fungsional, yang berkaitan dengan peran nyata alumni Ma’had DQH NW secara konkrit dalam kehidupan masyarakatnya.

Fungsi kepemimpinan alumni MDQH NW secara umum memiliki tiga sifat utama, Pertama, memimpin penyelenggaraan organisasi pada aspek kepemudaan. Kedua, menjadi tempat bertanya bagi masyarakat golongan muda dalam banyak hal. Ketiga, menjadi teladan dalam tingkah laku sosial (qudwah hasanah) dalam bidang kepemudaan karena para alumni MDQH NW secara umum masih banyak yan muda, meskipun juga banyak alumni MDQH NW yang sudah senior.

Ketiga, aspek kekerabatan, yakni membentuk jaringan kepemimpinan antarkeluarga alumni MDQH NW yang terorganisir dalam wadah Ikatan Mutakharrijin MA’HAD NW (Ittihadul Mutakharrijin Ma’had) yang kemudian disingkat IMAM NW. Cara praktis yang mereka tempuh untuk membangun solidaritas dan kerjasama tersebut adalah: mengembangkan suatu tradisi bahwa kelurga yang terdekat harus menjadi calon kuat pengganti kepemimpinnya, kepemimpinan ini berlaku dalam kepemimpinan pesantren.

Mengembangkan suatu jaringan aliansi perkawinan endegonis (satu lingkungan) antarkeluarga ulama/tuan guru. Mengembangkan tradisi transmisi keilmuan pengetahuan dan rantai transmisi intelektual antara tuan guru dan keluarganya. Dengan cara ini para tuan guru saling terjalin dalam ikatan kekerabatan yang intensitas teli-temalinya sangat kuat. Semakin masyhur kedudukan seorang tuan guru, semakin luas jaringan kekerabatannya dengan ulama lain.

Fungsi ke-Alumni Kema’hadan– ini terwujud dalam empat bentuk kepemimpinan, yaitu;

Pertama, Mutakharrijin MDQH NW tampil sebagai pemimpin masyarakat (community leader), jika ditampilkan dalam kepemimpinan organisasi kemasyarakatan atau bahkan “organisasi politik”.

Kedua, Mutakharrijin MDQH NW sebagai pemimpin keilmuan (intellectual leader), jika ditampilkan dalam kepemimpinan pendidikan/pengajaran atau sebagai penceramah/da’i/ atau muballigh.

Ketiga, Alumni MDQH NW bisa memberikan kepemimpinan kerohanian (spiritual leader), jika ditampilkan dalam kegiatan peribadatan, seperti sebagai imam dan khatib di masjid-masjid atau sebagai guru agama.

Keempat, pemimpin administrasi (administrative leader), jika berperan dalam lembaga-lembaga pendidikan dengan pengelolaan yang terorganisir secara modern.

Pembentukan proses kepemimpinan para Alumni MDQH NW di atas dapat terwujud secara terpisah sendiri-sendiri, tetapi dapat juga secara gabungan dalam diri seorang Abituren NW, dalam kapasitas dan intensitas yang berlainan. Ketiga, aspek status sosial, baik yang bersifat universal maupun status faktual yang dihayati masing-masing.

Ma’had DQH NW adalah lembaga pergolakan intelektual Mutakharrijin MDQH NW dalam sudut pandang masyarakat sipil (civil society). Dalam aspek status sosial, Mutakharrijin MDQH NW bisa dilihat dalam dua kategori besar, yaitu:

a) Alumni MDQH NW yang mempunyai status sosial vertikal, sebagai tokoh organisasi dengan suatu hirarki yang jelas, baik dalam ukuran lokal, regional,nasional bahkan bisa level international.

b). Alumni MDQH NW yang mempunyai status sosial horizontal, yang umumnya berpusat di Lembaga pesantren-pesantren. Mutakharrijin MDQH NW tidak menduduki jabatan-jabatan formal dalam organisasi kemasyarakatan, tetapi ada pengaruh yang mendalam pada masyarakat.

Pola kepemimpinan dalam Ma’had DQH NW dapat pula dianalisis melalui enam ciri-ciri utama kepemimpinan sebagaimana yang dikatakan oleh Hickman dan Tinus, yang kemudian dikutip oleh Riswandi Imawan,

Pertama, Intelectual capacity, yang berhubungan dengan kepandaian dan ketajaman otak seseorang untuk mengatur dan merencanakan gerak organisasi yang dipimpinnya.

Kedua, self significance, yakni perasaan dirinya penting untuk membantu menvapai tujuan kelompok. Ketiga, cavability, yang menunjuk kepada semangat kerja dan kesehatan seseorang.

Keempat, training, tambahan yang diterima seseorang agar memiliki kemampuan yang lebih baik daripada orang lain.

Kelima, experince, yaitu pengalaman memimpin yang dimiliki seseorang sekalipun pada kelompok kecil. Keenam, refutation, yaitu refutasi yang dimiliki seseorang dalam menyelesaikan tugasnya dengan tanpa cacat atau tercela.

Substansi peran yang dimainkan Alumni MDQH NW dalam membentuk masyarakat yang memiliki peradaban atau yang lazim disebut masyarakat madani atau civil society pada skala yang lebih menyeluruh dalam sketsa sosial masyarakat Lombok yang semestinya melalui jalur-jalur afiliasi sosial yang lebih dominan; dan dalam hal ini tentu saja NW adalah salah satu di antara yang paling determinan.

Akan tetapi untuk pertama-tama, civil society haruslah dibawa ke haribaan NW dengan berbagai pengertian yang secara keagamaan, kultur dan kepentingan yang lebih besar bersifat sejajar dapat diterima oleh semua kalangan.

Dalam perkembangannya, memang civil society adalah terma dan diskursus sosial yang sangat fleksibel, mengingat berbagai pengertiannya yang banyak mengalami reduksi, sesuai dengan kondisi dan situasi tempatnya diterapkan. Di kalangan NW sendiri, terdapat banyak sekali yang masih berhati-hati dengan kehadiran berbagai pengaruh sosial dari luar serta tetap berkomitmen dalam konservasi tata-nilai dan stabilitas sosial warga NW.

Oleh karena itu terlebih dahulu civil society haruslah dipahami secara lebih positif, tidak dapat hanya dipandang sebagai sesuatu paham yang datang dari Barat dengan segudang misi-misi spesifik yang mengandung liberalisme, sekularisme, kebebasan yang tak terkendali, hingga feminisme yang mungkin saja langsung termentahkan bahkan sebelum terelaborasi secara lebih ilmiah.

Artinya adalah Nahdhatul Wathan-Alumni MDQH NW adalah penggerak utama dalam mewujudkan peradaban kemanusian- peradaban keagamaan- peradaban intelektual yang terkandung maksud dari makna masyarakat madani masyarakat tamaddun yang mampu mengintegrasikan konteks keagamaan kontek budaya lokal dan kearifan sosial.

Nah Alumni MDQH NW tentu dituntut untuk maju di garda terdepan untuk mengembangkan dialektika masyarakat madani yang lebih progresif dan inovatif. sehingga ke depan NW dan ALUMNI MDQH NW di manapun berada mampu mewarnai corak keragaman masyarakat Islam di Nusantara.

Para alumni MDQH Nahdhatul Wathan diharapkan mampu mengembangkan peran dan fungsinya di Organisasi NW yang tentu saat ini masih bermetamorfosis untuk “MENJADI” dan NW berada di pundak IMAM NW (Ikatan Mutakharrijin Ma’had NW) di belakang hari nanti setelah tuntas meraih prestasi.

Itulah sekelumit tentang Ma’had Darul Qur’an wal Hadist al-Majidiyah al-Syafiiyyah NW yang saat ini telah berusia 53 Tahun. Selamat Adzkirol Hauliyah yang ke 53 Ma’hadku tercinta-semoga barokah sepanjang masa) Amin.
(Dari Alumni MDQH angkatan ke-33. terkenang 25 Tahun yang lalu- Fahrurrozi Dahlan)