Mengenang Kembali MDQH NW: Garda Terdepan Pengawal Visi-Misi Organisasi NW dan Penyangga NKRI

MDQH NW

MENGENANG KEMBALI
MA’HAD DARUL QUR’AN WAL HADIST AL-MAJDIYYAH AL-SYAFIIYYAH NAHDLATUL WATHAN:
GARDA TERDEPAN PENGAWAL VISI-MISI ORGANISASI NAHDLATUL WATHAN DAN PENYANGGA NKRI

(Refleksi 57 Tahun Alumni MDQH NW Berkontribusi untuk Negeri)
Oleh: Prof. Dr. TGH.Fahrurrozi Dahlan, QH. MA
(Alumni MDQH ke-33- Sekretaris Jendral PB NW- Direktur Pascasarjana UIN Mataram)

Penulis mengawali tulisan ini dengan lagu Mars Ma’had DQH NW yang menjelaskan subtansi dan intisari esensi Ma’had DQH didirikan oleh Maulanassyaikh TGKH.M.Zainuddin Abdul Madjid.

Ma’had Darul Qur’an Wal Hadits yang mulia, Genap Lima tujuh (57) tahun sudah usianya, Semoga perguruan tinggi Ma’had tercinta , Diridhai Allah abadi sepanjang masa, Ma’had penyebar ilmu dan hukum syari’ah, Penyubur makmur iman takwa yang sehat , Ma’had pembimbing umat dan masyarakat, Menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, Ma’had pencetak kader ulama kiyai, Kader muballigh yang terampil dan berbudi, Ma’had bukan tempat mengejar pangkat dan kursi, Ma’had tempat menuntut ilmu Rabbul Izzati, Ma’had banyak masuk di madrasah Shaulatiyyah, Madrasah tertua di tanah suci Makkah, Banyak berhasil jadi ulama syari’ah, Menjadi penegak Ahlussunnah Wal Jamaah, Kalau sudah mendapat ijazah Ma’had, Jangan banggakan ijazah kertas mengkilat, Berusaha lagi agar sampai mendapat, Ijazah termulia ijazah masyarakat.

Prof. Dr. Fahrurrozi Dahlan, QH. MA

Ma’had Dār al-Qur’ān wa al-Ḥadīth al-Majīdiyyah al-Shāfi’iyyah Nahḍah al-Waṭan (MDQH NW) didirikan pada tanggal 15 Jumādā al-Ākhirah 1385 H/ 1965 M, yakni tepat 12 tahun setelah berdirinya organisasi NW. Kata Ma’had merupakan bahasa Arab yang berarti sebuah lembaga pendidikan agama, Dār al-Qur’ān wa al-Ḥadīth berarti tempat mengkaji dan meneliti al-Qur’ān dan Ḥadīth, al-Majīdiyyah maksudnya keturunan Datok TGH. ‘Abd al-Majīd, ayahanda al-Maghfūr lah Mawlānā al-Syaikh TGKH. Muḥammad Zayn al-Dīn ‘Abd al-Majīd selaku pendiri, sedangkan al-Shāfi’iyyah berarti penganut madzhab Imam al-Shāfi’ī. Adapun hal-hal yang melatar belakangi berdirinya MDQH, di antaranya:

Pertama: Adanya bisyarah atau petunjuk langsung dari guru besar beliau Mawlānā Syaikh Ḥasan Muḥammad al-Mashshāṭ yang tertera dalam surat korespondensi beliau dalam kurun waktu 30 tahun memonitoring perkembangan Madrasah NWDI -NBDI dan NW khususnya lembaga khusus yang mengkaji khazanah kitab-kitab klasik berbahasa Arab. salah satu isi surat ini yang penulis terjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia,

Pengirim (al-Mursil)
Bismillahirrahmanirrahim 1 Muharram 1399 H
Dari al-Muhibb (yang amat mencintai) Muhammad al-Massyath kepada aL-Allamah Syaikh Anfenan, Alimu Anfenan pembawa panji-panji dakwah dan bendera kebenaran kepada Allah yang maha Haq dengan metode Dakwah yang benar. Al-Ustaz Muhammad Zainuddin semoga Allah selalu memeliharanya dari keraguan dan dan penyakit Ain, semoga tercurahkan selalu taufiq hidayah untuk perkhidmatan terhadap ilmu dan ahli ilmu.

(Assalamualaikum Wa ala a’dho’i Annahdhaty wa Talamiiziha Zukuuran wa inaatsan wa Rahmatullah Taala Taghsyaahum wa Ta’ummuhum Ma’alluthfi Jamiian Ma’alluthfi, Amiin). Keselamatan terhadapmu dan terhadap seluruh Anggota NW beserta Murid-Murid NW lak-laki maupun perempuan semoga rahmat Allah tercurahkan kepada mereka dan melindungi mereka dengan kemahalembutan, Amin).

Amma ba’du: Saya menulis sepucuk surat kepadamu dengan agak tergesa-gesa dan ada sepucuk surat saya telah tuliskan kepadamu tentang hal-hal yang terkait dengan ilmu, keutamaan ilmu guna kamu bisa bacakan kepada murid mu-muridmu santri-santri kita, anak-anak didik kita, dan agar mereka tahu untuk selamanya, terjaga dan terpelihara dan saya selalu berharap dan berdoa kepada mereka untuk selalu bersama ilmu yang benar dan amal yang benar dan tetap mengikuti sunnah nabi kemudian dapat berkhidmat terhadap ilmu dan menegakkan panji dakwah kepada Allah sebab itu semua merupakan tugas para nabi saw semoga Allah memberikan rizqinya berupa kesempurnaan yang ikhlas.

Kedua: Mawlānā Syaikh Syaikh Sayyid Muḥammad Amīn al-Kutbī.

Dalam Taqriz (Kata Pengantar- Prolog) kitab Mikrajussibyan ila Samâi Ilmi al-Bayan karya Maulanassyaikh TGKH.Muhammad Zainuddin Abdul Madjid:

فِي سَاحَةِ الْعِلْمِ لَهُ مَعْهَدٌ * لاَ يَبْرَحُ الطُّلاَّبُ فِي ظِلِّهِ
di lapangan ilmu ia dirikan Ma’had * Tetap dibanjiri ṭullab-Thallibat menuntut ilmu mengkaji kitab.

Ketiga: Untuk mempertahankan dan memperkuat generasi ulama’ salaf dengan mengkaji kitab-kitab agama Islam yang populer disebut dengan kitab kuning alias kitab gundul (Telaah terhadap kitab kuning menjadi sarana dan media yang sangat tepat dalam meningkatkan kwalitas sumber daya umat islam terutama warga Nahḍah al-Waṭan). Dalam konteks ini Maulanassyaikh TGKH.M.Zainuddin Abdul Madjid menyatakan dalam gubahan syair beliau:

وَنَهْضَتُنَا نَهْضَـةُ الْوَطَنِ * لَبَثِّ الْعُلُوْمِ مَدَى الزَّمَنِ
بِفَتْـحِ مَدَارِسَ وَالْمَعْهَدِ * تُنِـيْرُ الْبِـلَادَ بِلَا وَهَــنِ

Gerakan kami di Nahdlatul Wathan, Sebarkan ilmu di sepanjang zaman, Buka sekolah serta perguruan (Ma’had), Sinari negeri tanpa keluhan

Keempat: Untuk mentransformasikan ilmu agama yang sudah beliau timba dari guru besar beliau sebagai cikal bakal pejuang agama nusa dan bangsa dan sebagai tempat untuk mencetak sarjana-sarjana masjid.

مَـعْهَدُ الْقُرْاٰنْ بِــنَا * فَادْخُــلُوْا طَالِبِـيْنَ
بِسَـــلَامٍ اٰمِنِــــيْنْ * نَهْضَـةُ الْوَطَنْ فِـيْنَا

Ma’had Qur’an di kami, Masuklah jadi santri, Damai dan ketenteraman, NW kami andalkan.

Kelima: Sebagai suatu ikhtiar, wadah dan benteng pertahanan iman dan taqwa yang kokoh dalam upaya mempertahankan idealisme Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah ‘alā Madhhab al-Imām al-Shāfi’ī r.a.

Keenam: Melihat realita di masyarakat pada zaman modern yang serba canggih ini, maka sangat diperlukan munculnya ’ulama atau sarjana agama yang berkualitas dan mampu mengatasi persoalan yang sedang dihadapi oleh ummat dan mampu membawa agama Islam menjadi central of knowledge (pusat ilmu pengetahuan).

Ketujuh: Ma’had merupakan anak kandung ketiga Maulanassyaikh yang di lembaga inilah Maulanassyaikh menumpahkan segala ilmu pengetahuan beliau setiap hari. Di Ma’had lah tempat beliau mengatur strategi perjuangan, stategi dakwah dan strategi pendidikan yang setelah mengajar di MDQH NW barulah beliau menyapa masyarakat umum ke berbagai penjuru.

Sehingga wajarlah beliau berwasiat dan berpesan agar Ma’had ini dijaga, dipelihara dan dikembangkan agar tetap menjadi tumpuan harapan ummat dalam bidang agama.

Pada awalnya Ma’had DQH NW ini hanya untuk yang banin (kaum laki-laki) dengan proses belajar empat tahun. Pada tahun pertama berdirinya Ma’had DQH NW, ṭullabnya dapat diperkirakan sekitar 150 orang. Sepuluh tahun kemudian al-Maghfūr lah Mawlānā Syaikh membentuk Ma’had untuk yang banat (untuk kaum perempuan) dengan lama belajar tiga tahun. Hal ini karena melihat kebutuhan kaum perempuan untuk menjadi pendamping suami dalam berjuang menegakkan syi’ar Islam melalui wadah organisasi NW dan untuk merealisasikan bahwa perempuan merupakan Imād al-Bilād (tiang negara).

Kehadiran Ma’had di Lombok atau lebih dikenal dengan Bumi Selaparang ini sebagai suatu ikhtiar, wadah dan benteng pertahanan iman dan taqwa yang kokoh dalam upaya mempertahankan idealisme Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah ‘ala Madhhab al-Imām al-Shafi’ī r. a.

Kehadiran Ma’had difokuskan untuk mendalami ilmu-ilmu agama secara kaffah (menyeluruh), membahas dan mendalami kitab-kitab kuning karangan ulama salaf yang sangat dominan dipedomani dalam pelaksanaan ibadah syari’ah sehari-hari. Tradisi yang berkembang di MDQH NW, berprinsip bahwa pesantren dan kitab kuning merupakan dua sisi suatu benda yang tidak terpisahkan. Sejak awal berdirinya telah banyak melakukan pengkajian karya-karya ’ulama klasik yang bersumber dari kitab kuning.

Hal tersebut cukup relevant bagi santri yang berminat mendalami bidang studi keagamaan secara mendalam. Pentingnya kedudukan kitab kuning di Ma’had ini menunjukkan bahwa Islam yang ditebarkan dari pondok pesantren, adalah Islam yang memiliki kesinambungan yang kuat dengan Islam, sebagaimana difahami dan dihayati oleh generasi-generasi sebelumnya.

Maka untuk menjaga kesinambungan rantai ilmu keislaman yang optimal, tidak ada jalan lain kecuali dengan mempertautkan dan menduplikasikan apa yang ada (faham keislaman) yang dimiliki oleh generasi sebelumnya, yaitu generasi ’ulama salaf. Pada tahun 1970 M. dirintis pembaharuan lagi di Ma’had dengan mendirikan program Ma’had untuk banat khusus untuk perempuan dalam tiga tingkat, sebagai bentuk manifestasi dari Tholab al-’ilmi farīḍah ’ala kulli muslimīn wa muslimāt (menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan).

Dari awal berdirinya Ma’had menyelenggarakan pembelajaran secara talaqqy atau halaqah yakni dengan bertemu dan berjumpa langsung dengan para pembimbing atau mashayikh. Para ṭullab maupun tholibat dikumpulkan dalam satu kelas sesuai dengan tingkat masing – masing. Keberadaan Ma’had dari dulu hingga saat ini tetap memiliki andil besar dan dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu kebutuhan primer, hal itu dapat dibuktikan secara empiris dengan banyaknya para alumni atau dalam istilah populer ma’hadnya para mutakharrijin-mutakharrijat atau Abituren yang tersebar hampir disetiap masjid, musholla ataupun sekolah-sekolah maupun pondok pesantren terutama di pulau lombok yang populer dengan sebutan Pulau Seribu Masjid dan Serambi Masjidil Haram.