TRADISI DAN CIRI KHAS MDQH NW
Ada beberapa tradisi khas Ma’had Darul Qur’an wal Hadist yang menjadi pembeda dengan lembaga keagamaan yang lain di Indonesia:
Pertama; Tradisi Mengkaji kitab-kitab kuning melalui proses Talaqqy atau Halaqah, merupakan tradisi Ulama’ salaf yang masih di praktikkan di kalangan santri khususnya ṭullab MDQH NW Anjani. Tradisi ini mengikuti tradisi keilmuan Islam generasi awal. Pembelajaran Tauhid, Fiqih, dan Thasawwuf secara seimbang dan betul-betul hanya mempelajari kitab-kitab klasik. Pembelajaranpun difokuskan untuk menempa ṭullab menjadi individu yang berakhlak mulia, menjadi pakar hukum dan insan kamil yang yaqin, ikhlas dan istiqomah.
Kedua: Tradisi hormat dan ta’zhim kepada guru, termasuk kepada kitab dan pengarangnya. Hal ini terlihat pada aktifitas keseharian ṭullab/thalibat. Apabila bertemu dengan guru mereka akan mengucapkan salam dan berjabat tangan sambil mencium tangan guru tersebut. Penghormatan kepada kitab dan pengarangnya, dilakukan dengan membawa kitab tersebut dengan penuh ta’zhim.
Ketiga: Tradisi Estafet dan silsilah ilmu yang diterima dari guru sehingga kitab-kitab yang dipelajari betul-betul diseleksi kitab siapa dan bagaimana pengarangnya. Sehingga di akhir pendidikan ṭullab yang akan tamat mendapatkan ijazah kitab-kitab yang sudah dipelajari dari para MaSyaikh.
Keempat: Tradisi menjalankan ibadah, dilakukan dengan memperbanyak sholat sunnah seperti Rawātib, Tahajjud, Dhuha, Awwabīn, Witir, Tahiyyah al-Masjid, Wudhu’, dan lainnya. Tullāb-Tālibāt juga sering diijazahkan beberapa wirid dan dzikir tertentu untuk diamalkan.
Kelima: Tradisi berprilaku yang memiliki makna moral yang mendalam, seperti berpakaian sederhana dan serba putih mengajarkan untuk hidup sederhana dengan hati yang bersih dan putih yang jauh dari jiwa hasad, takabbur dan penyakit hati lainnya, melalui pakaian yang serba putih di harapkan akan menjadi orang yang beriman dan bertaqwa seputih pakaian yang dikenakan.
Keenam: Tradisi Haflah (pada saat acara al-Dhikrā al-Ḥawliyyah) untuk ṭullab baru. Setiap ṭullab baru dicukur oleh semua Masyayikh MDQH, sedangkan thalibat dengan digetuk kepalanya oleh para Mashayikh untuk mengisyaratkan dengan masuk Ma’had di harapkan setelah mereka diakui sebagai ṭullab MDQH, maka mereka harus menjauhi akhlak yang dulunya mungkin kurang baik menjadi akhlakul karimah.
Ketujuh: Tradisi Ma’had adalah Tradisi Madrasah al-Shaulatiyyah Makkah al-Mukarramah berupa Tradisi ijazah kitab (ijâzah al-kutub al-maqrû’ah). Salah satu tradisi aswaja Nahdlatul Wathan adalah tradisi ijazah kitab yang dibaca setiap hari di pondok pesantren, yang kemudian diijazahkan di akhir kegiatan pembelajaran. Biasanya ijazah kitab ini dilaksanakan saat pelepasan santri atau siswa-siswa saat tamat dari bangku sekolah.
Tradisi ijazah kitab yang dilaksanakan di pondok pesantren Nahdlatul Wathan dengan tujuan pokok sebagai berikut: Pertama, tradisi ijazah ini dilakukan untuk tafâ’ulan dari isi kitab yang dibaca, agar ilmu yang diperolehnya menjadi berkah dan dapat diamalkan sepulang mereka nanti di tempat tinggal masing-masing.
Kedua, ijazah kitab menjadi penanda silsilah keilmuan dan transmisi keilmuan dari guru ke murid, di mana guru yang mengajarkan kitab-kitab mu’tabarah tersebut telah menerima ijazah dari guru-guru mereka, sehingga silsilah atau mata rantai keilmuan mereka sampai kepada Rasulullah SAW.
Ketiga, mempertegas genealogi keilmuan dari sang guru kepada murid. Guru memperteguh keilmuannya dengan ijazah yang diterima dari guru-gurunya berkat ijazah kitab tersebut.
Keempat, ijazah kitab dilaksanakan dengan adanya ijab dan kabul dari guru ke murid, yang diawali dengan membaca salah satu kitab yang telah khatam dibaca, setelah selesai dibaca baru sang guru berucap, “Ajaztukum jamî’ al-kutub al-maqrû’ah.”(saya ijazahkan kitab-kitab yang dibaca tersebut)Lalu sang murid spontan menjawab,“Qabilnâ al-ijâzah,” atau “qabiltu al-ijâzah.” Inilah sesungguhnya identitas dan kekhasan ahl al-sunnah wa al-jamaah ala Organisasi Nahdlatul Wathan.